SURABAYA – Pemerintah Indonesia sedang mempromosikan untuk menerapkan kebijakan energi yang berbunyi ‘co-firing biomassa.’ Co-firing merupakan teknik substitusi dalam pembakaran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dimana sebagian batubara yang dijadikan bahan bakar diganti sebagian dengan bahan lainnya, yang dalam konteks ini adalah biomassa. Teknik ini diklaim dapat mengurangi ketergantungan energi Indonesia dari sumber yang tidak terbarukan, yakni batubara.
Untuk mengeksplor klaim tersebut lebih lanjut, tim redaksi mewawancarai Pakar Teknik Lingkungan UNAIR Wahid Dianbudiyanto ST MSc. Wahid mengatakan bahwa teknik co-firing biomassa ini sudah tepat diimplementasikan di Indonesia, karena ini merupakan langkah paling realistis dalam menjalankan komitmen implementasi green energy. Ia menambahkan bahwa proporsi penggunaan biomassa di PLTU Indonesia beragam, mulai dari 5% sampai ada yang bisa 100% menggantikan batubara seperti di PLTU Tembilahan di Riau.
Baca juga:
LPPM Adakan Pelatihan Penilai AMDAL
|
“Sumber biomassa ini beragam, mulai dari serbuk gergaji (sawdust), pelet kayu (wood pellet), dan bahkan hingga sampah. Untuk di PLTU Tembilahan yang berhasil 100% itu pakai cangkang kelapa sawit. Limbah-limbah seperti ini kan banyak sekali di sekitar kita, jadi harus dimanfaatkan. Seperti di PLTU Paiton, itu sumber biomassanya dari UMKM lokal, ” ujar alumni National Cheng Kung University itu.
Pakar Teknik Lingkungan UNAIR Wahid Dianbudiyanto. (Foto: Istimewa).
Namun, Wahid tetap menekankan bahwa co-firing biomassa ini bukan untuk solusi jangka panjang. Hal ini dikarenakan bahwa ia dapat tetap menghambat transisi Indonesia ke energi baru dan terbarukan (EBT). Wahid mengatakan bahwa metode ini tetap menggunakan batubara yang pembakarannya sangat polutif, dan sumber biomassa seperti cangkang kelapa sawit juga didapatkan dari perkebunan yang mengamplifikasi deforestasi.
“Tetapi kembali lagi, co-firing itu yang paling realistis untuk sekarang. Karena kalau bicara terkait energi, kita harus bicara soal supply and demand. Demand listrik itu selalu ada 24/7. serta kalau kita berusaha untuk mensuplai full demand energy itu dengan energi terbarukan seperti angin dan surya itu masih belum realistis, ” ujar lektor FST UNAIR itu.
Penekanan tidak realistis itu menurut Wahid terletak pada dua faktor. Pertama, faktor ekonomi. Transisi menuju EBT dan menurunkan emisi karbon itu membutuhkan biaya yang sangat besar, dan menurut Wahid ekonomi Indonesia belum mampu. Kedua, adalah faktor intermiten. Maksudnya adalah sumber energi terbarukan seperti surya dan angin itu tidak selalu ada setiap saat, dan butuh teknologi seperti baterai untuk mengatasi faktor intermiten tersebut.
“Kalau kita langsung transisi tanpa mempertimbangkan faktor ekonomi, kita bisa krisis. Kedepannya yang paling realistis untuk Indonesia adalah pengembangan pembangkit panas bumi dan nuklir. Kita memiliki banyak sekali potensi panas bumi yang masih belum dimanfaatkan oleh pembangkit berskala besar. Begitu pula dengan nuklir yang memang efektif karena polusinya hampir nihil. Indonesia bisa mengarah kesana karena ia merupakan sumber energi yang tidak intermiten dan murah, tinggal peningkatan kesiapan sumber daya dan pengelolaan limbahnya yang berbahaya saja, ” tutup Wahid.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan
Baca juga:
ITS Perkuat Kerja Sama dengan DUT Tiongkok
|